Segera setelah Ayah Hisyam II dari dinasti Hakam II memberikan karpet merah pada anak remajanya itu untuk melanjutkan kekuasaan di Kordoba perkiraan antara tahun 976-1009 Masehi. Situasi politik di Kota tersebut mulai tidak terkendali dan bahkan memburuk. Disebabkan para pejabat di lingkaran Istana yang menjadi pelaksana harian politik Hisyam II. Sang penguasa yang masih muda itu tak mampu apa-apa karena dipaksa menjadi Khalifah di Andalusia oleh keluarganya.
Diperparah lagi dengan memberi sepenuhnya legitimasi pada seniornya yaitu Al-Manshur bin Amir untuk mengatur semua kebijakan Istana. Kata seorang pemikir Mesir Abu Zahrah (w.1974) “Kecelakaan terbesar negara jika seorang mengangkat anak ingusan jadi penguasa.”
Masih menurut Abu Zahrah, pada saat itu terjadi instabilitas politik di Kordoba dan banyak terjadi fitnah di lingkungan istana. Penyelewengan negara di dalam istana oleh para pembantunya secara terang-terangan begitu nampaknya dan bahkan negeri Kordoba mengalami kekacauan besar.
Seorang anak pejabat di lingkungan Istana bernama Ibnu Hazm ketika masih kanak-kanak, ia menjadi manusia pertama yang menyaksikan keganjilan-keganjilan pejabat istana dan merasakan manipulasi kebijakan negara yang dia rasakan cukup aneh. Ia tersulut kemarahan, terguncang kedamaian atas situasi itu.
Ibnu Hazm merupakan anak dari pejabat penting lingkungan Istana di Andalusia. Bagaimana tidak, Ibnu Hazm adalah selain anak dari seorang ulama terpandang, ia juga sekaligus anak dari seorang eoorang pejabat penting di lingkungan Istana, namun ia harus menyaksikan semua manipulasi politik yang dilakukan rekan-rekan terdekat ayahnya. Ketika ayahnya sudah menjadi pejabat dan sesaat setelah ayahnya meninggal serta situasi politik di Kordoba semakin memburuk, ia meninggalkan Kota itu menuju selatan yaitu Almeria.
Meniti Karir Politik di Almeria Sampai Kembali Ke Kordoba
Di Kota Almeria, Ibnu Hazm memulai meniti karir politik pertamanya diperkirakan pada usia 30 tahun-an. Selama kurang dari 5 tahun lamanya, Ibnu Hazm mendapat hak istimewa dari keluarganya yang tinggal di Almeria.
Bahkan kegiatan politik yang dilakukannya terendus oleh penguasa pusat, atas perintah pusat Ibnu Hazm harus mendekam di balik jeruji besi beberapa bulan bersama sahabatnya Muhammad bin Ishaq sebelum selanjutnya diekstradisi ke pinggiran kota Sevilla.
Bagi Ibnu Hazm, Kota Almeria sebegitu penting bagi kehidupan dan karir politik serta pergumulannya di dunia intelektual suatu saat nanti. Tak hanya sebagai Kota yang diterangi untuk suaka politik, tetapi Almeria merupakan renungan ontologis dalam pergumulan batin dirinya dan nalar filsafatnya. Tempat memulai karir politik dan intelektual serta menjadi pemuka agama sekaligus di hari orang tua kelak.
Di Sevilla, tepatnya di perkampungan kecil bernama Hishn al-Qashr, ia tinggal di rumah Ibnu Muqafal selama dua bulan. Kemudian ia berlayar ke Valencia untuk bergabung bersama kelompok politik Al-Murtadha bin Abdurrahman bagian dari penguasa lama sebelum Kordoba dikuasai kelompok Alawi.
Ibnu Hazm masuk bagian dari kekuasaan Al-Murtadha di Valencia, ia menjadi pembantu khalifah di bidang politik dan keamanan. Ibnu Hazm dan Murthadha menyusun kekuatan di Valencia, Ibnu Hazm memimpin pasukan di Granada untuk bertempur dengan Bani Mahmud.
Pertempuran di Granada dimenangkan pasukan Bani Mahmud tentara Ibnu Hazm kalah, mengakibatkan kematian Al-Murtadha. Ibnu Hazm di penjara kemudian diasingkan kembali ke Sevilla. Selama di Valencia, Ibnu Hazm tidak pernah mengunjungi Kordoba kecuali pada tahun 409 hijriah. Kemudian Ibnu Hazm baru mengunjungi kembali kota tersebut sampai Mustadzhar berkuasa di tahun 414 hijriah.
Akhir Perjalanan Politik Ibnu Hazm dan Menjadi Ulama Terkemuka
Karir politik Ibnu Hazm terus menanjak sejak Andurrahman al-Mustadzhar sebagai penguasa. Kemudian Ibnu Hazm diangkat menjadi salah satu Wazir di pemerintahaan Mustadzhar pada tahun 414 Hijriah. Tapi itu tak berlangsung lama hingga terbunuhnya Mustadzhar, Ibnu Hazm kembali dipenjara. Setelah bebas dari penjara, pada masa pemerintahan Hisyam al-Muta’ad antara tahun 418-422 hijriah, Ibnu Hazm kembali diangkat menjadi pejabat negara.
Pada tahun-tahun itu, kata Yaqut Hamawi (w.1229 M) penulis kitab Mu’jam Ubada; merupakan puncak karir politik Ibnu Hazm berakhir, selanjutnya Ibnu Hazm memutuskan untuk tidak kembali ke dunia politik. Setelah itu, Ibnu Hazm banyak berkonsentrasi di dunia intelektual dan bergelut mendalami informasi tentang ilmu hadits. Demikian pula ia banyak mendalami filsafat dan bertungkus lumus menulis berbagai macam kitab.
Kata Sha’id bin Ahmad sebagaimana dijelaskan Ibnu Baskuwal dalam kitab Al-Silah (1990:605.II) Sudah bukan rahasia lagi bagi penduduk Andalusia kalau Ibnu Hazm itu seorang ulama tersohor yang menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan. Ibnu Hazm sangat menguasai ilmu retorika, balaghoh, sastra, biografi, ahli sejarah dan ahli logika. Karya Ibnu Hazm menurut informasi anaknya yang bernama Abu Rafi’, Ibnu Hazm menulis kitab sebanyak 400 volume dan perkiraan menurut Abu Rafi’ ada 80 ribu halaman.
Di sisi lain, murid Ibnu Hazm bernama Abdullah Humaidi menyebut dalam kitab Jadzwah al-Muqtabis (2008: 449) Ibnu Hazm adalah seorang ulama penghapal ilmu hadits dan fiqh, ia selalu menetapkan hukum berdasarkan teks Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu ia menguasai ilmu-ilmu primer lain. Seorang Intelektual sekaligus asketis. Ia mantan politisi dan pejabat tinggi negara. Selain pandai Ia pun berjiwa besar dan penuh tawadhu serta memiliki derajat yang tinggi. Banyak menulis karya berbagai disiplin ilmu pengetahuan terutama ilmu hadits, fiqh, riwayat, sanad, studi agama-agama, sastra, logika, dan lain-lain.
Koherensi kegiatan politik Ibnu Hazm dalam dua dekade pertama abad 4 hijriah jadi gambaran tokoh sangat ambisius di pergumulan politik Andalusia dalam pembelaanya terhadap politik keluarga Bani Umayah, terutama setelah kematian ayahnya. Akan tetapi, pada periode tersebut terutama di saat karir politiknya hancur, kehidupan Ibnu Hazm banyak dicurahkan pada ilmu pengetahuan dan kesarjanaan.
Periode ini sangat penting bagi karir intelektual seorang Ibnu Hazm setelah melepaskan diri dari karir politiknya, yang mana kehidupan intelektualnya kelak mengantarkan dirinya sebagai tokoh atau ulama terkemuka di dunia Islam hingga akhir hayatnya ia bersepi-sepi di kampung halamannya di sebuah desa kecil kota Huelva negeri Andalusia dan pada tanggal 28 Sya’ban 456 hijriah Ibnu Hazm menghembuskan nafas terakhir di dusun terpencil itu.***
Penulis : WS Abdul Aziz, Katib Syuriyah MWC NU Cicendo Kota Bandung
Comments are not available at the moment.